Islam Kejam, Membolehkan Perbudakan?
Pendahuluan
Bagi yang belum mengenal Islam secara sempurna, maka ia akan melihat ada beberapa ajaran Islam yang terlihat kurang sesuai dengan akal pendek manusia. Padahal jika ia mempelajari secara sempurna disertai dengan jiwa yang hanif ingin mencari kebenaran, maka ia akan melihat sebaliknya, banyak tersimpan hikmah yang besar dalam ajaran Islam. Misalnya pembagian warisan laki-laki dan wanita di mana laki-laki lebih banyak, tidak boleh memberontak terhadap pemerintah yang masih shalat/belum kafir, wanita lebih banyak berdiam diri di rumah, wanita tidak boleh menjadi pemimpin. Begitu juga dengan sistem perbudakan yang dilegalkan oleh Islam. Musuh-musuh Islam baik dari orang kafir maupun orang munafik dan liberal berusaha menyerang Islam dengan tuduhan tidak menghormati HAM. Akan tetapi Allah Ta’ala yang lebih tahu bagaimana kemashalahatan untuk mahluknya .
Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Ali Bassam rahimahullah berkata, “Beberapa musuh Islam mencela keras pelegalan perbudakan dalam Syari’at Islam, yang menurut pandangan mereka termasuk tindakan biadab… Perbudakan tidak khusus hanya dalam Islam saja, bahkan dahulunya telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Termasuk Bangsa Persia, Romawi, Babilonia, dan Yunani. Dan para tokoh Yunani, seperti Plato dan Aristoteles pun hanya mendiamkan tindakan ini. [Taisir Allam Syarh Umdatul Ahkam hal. 561, cet. II, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah].
Padahal jika kita mau adil, bukan agama Islam saja yang melegalkan perbudakan tetapi semua agama dan kebudayaan besar yang pernah ada di muka bumi.
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri hafizhohullah berkata, “Perbudakan sudah dikenal manusia sejak beribu-ribu tahun yang lalu, dan telah dijumpai di kalangan bangsa-bangsa kuno seperti Mesir, Cina, India, Yunani dan Romawi, dan juga disebutkan dalam kitab-kitab samawi seperti Taurat dan Injil.” [Minhajul Muslim hal. 443, Darul Bayan, Beirut, cet. I, 1427 H]
Oleh karena itu, kita umat Islam diperintahkan agar mempelajari agama Islam secara sempurna, sehingga kita bisa merasakan kenikmatan beragama, ketenangan hidup dan kebahagiaan. Jika sekedar mempelajari setengah-setengah apalagi Islam KTP, maka ia tidak akan merasakan kebahagiaan. Ia akan mencari kebahagiaan dengan Ilmu filsafat Yunani dan filsafat Cina, mencari kebahagiaan dengan harta, mencari kebahagiaan dengan berbagai hobi didunia yang melalaikan. Atau bahkan mencari kebahagian dengan kerusakan, seperti menjadi waria, merampok, mencuri, mabuk dan memakai narkoba. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah kalian mengikuti jejak langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuhmu yang nyata.”(QS. Al Baqarah: 208).
Jawaban Tuduhan
Berikut penjabaran bahwa ternyata apa yang dituduhkan tidak benar dan dalam sistem perbudakan yang diajarkan oleh Islam banyak mengandung hikmah bagi kemaslahatan manusia. Poin-poin penjabarannya:
- Sebab menjadi budak hanya satu: orang kafir yang menjadi tawanan perang
- Perintah bersikap baik terhadap budak dan celaan jika sebaliknya
- Islam mengangkat derajat budak
- Pahala besar bagi budak
- Anjuran membebaskan budak
- Tebusan kesalahan/pelanggaran [kafarah] seorang muslim dengan membebaskan budak
- Budak Bisa minta bebas dengan membayar dirinya/mukatabah
- Banyak jalan lainnya agar budak bisa merdeka
- Budak dibantu jika ingin merdeka
Berikut rinciannya:
Sebab menjadi budak hanya satu: Orang kafir yang menjadi tawanan perang
Jika kita melihat sejarah dunia, maka jalan menjadi budak bermacam-macam bahkan ada dengan cara yang keji dan lebih tidak manusiawi, ini berlaku disemua peradaban dunia.
Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Ali Bassam rahimahullah berkata, “Bahkan perbudakan menurut mereka memiliki banyak sebab untuk memperbudak seseorang seperti adanya perang, tawanan, penculikan atau pencurian. Tidak hanya itu, mereka pun menjual anak-anak yang menjadi tanggungan mereka untuk dijadikan budak, bahkan sebagian mereka menganggap para petani sebagai budak belian.” [Taisir Allam Syarh Umdatul Ahkam hal. 562, cet. II, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah].
Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jaza-iri hafizhohullah menjelaskan, “Adapun asal-usul terjadinya perbudakan [dahulunya] adalah karena sebab-sebab berikut ini :
- Perang [الحرب] Jika sekelompok manusia memerangi kelompok manusia lainnya dan berhasil mengalahkannya, maka mereka menjadikan para wanita dan anak-anak kelompok yang berhasil dikalahkannya sebagai budak.
- Kefakiran [الفقر] Tidak jarang kefakiran mendorong manusia menjual anak-anak mereka untuk dijadikan sebagai budak bagi manusia lainnya.
- Perampokan dan pembajakan [الإختطاف بالتلصص و القرصة] Pada masa lalu rombongan besar bangsa-bangsa Eropa singgah di Afrika dan menangkap orang-orang Negro, kemudian menjual mereka di pasar-pasar budak Eropa. Di samping itu para pembajak laut dari Eropa membajak kapal-kapal yang melintas di lautan dan menyerang para penumpangnya, dan jika mereka berhasil mengalahkannya, maka mereka menjual para penumpangnya di pasar-pasar budak Eropa dan mereka memakan hasil penjualannya.” [Minhajul Muslim hal. 443, Darul Bayan, Beirut, cet. I, 1427 H]
Dan dalam Islam sebab perbudakan hanya satu, yaitu orang kafir yang menjadi tawanan perang. Dan sangat wajar jika seorang tawanan perang dijadikan budak. Karena mereka sebelumnya musuh dan harus diberikan strata sosial yang rendah.
Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Ali Bassam rahimahullah berkata, “Islam menyatakan bahwa seluruh manusia adalah merdeka dan tidak bisa menjadi budak kecuali dengan satu sebab saja, yaitu orang kafir yang menjadi tawanan dalam pertempuran. Dan Panglima perang memiliki kewajiban memberikan perlakuan yang tepat terhadap para tawanan, bisa dijadikan budak, meminta tebusan atau melepaskan mereka tanpa tebusan. Itu semua dipilih dengan tetap melihat kemaslahatan umum.
Inilah satu-satunya sebab perbudakan di dalam Islam berdasarkan dalil naqli yang shahih yang sesuai dengan dalil aqli yang shahih. Karena sesungguhnya orang yang berdiri menghalangi aqidah dan jalan dakwah, ingin mengikat dan membatasi kemerdekaan serta ingin memerangi maka balasan yang tepat adalah ia harus ditahan dan dijadikan budak supaya memperluas jalannya da’wah.
Inilah satu-satunya sebab perbudakan didalam Islam, bukan dengan cara perampasan manusia, ataupun menjual orang merdeka dan memperbudak mereka sebagaimana umat-umat yang lain.” [Taisir Allam Syarh Umdatul Ahkam hal. 562, cet. II, Darul Kutubil ‘Ilmiyyah]
Perhatikan juga keterangan di atas, bahwa menjadi tawanan perang tidak langsung otomatis menjadi budak tetapi ada pilihan lainnya, yaitu:
[1] menjadi budak
[2] bebas dengan tebusan bahkan bisa bebas tanpa syarat
[3] dibunuh, khusus laki-laki dewasa saja
Pilihan dipilih oleh penglima perang mana yang terbaik untuk kemaslahatan Islam dan manusia. Sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّىٰ إِذَا أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّىٰ تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka [1] pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh [2] membebaskan mereka atau [3]menerima tebusan sampai perang berhenti” [QS.Muhammad: 4]
Perintah bersikap baik terhadap budak dan celaan jika sebaliknya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِتَّقُوااللهَ فِيْمَا مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Bertaqwalah kalian kepada Allah dan perhatikanlah budak-budak yang kalian miliki.” [Shahihul Jami’ no. 106, Al-Irwa’ no. 2178]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا يُطِيقُ
“Budak memiliki hak makan/lauk dan makanan pokok, dan tidak boleh dibebani pekerjaan di luar kemampuannya.” [HR. Muslim, Ahmad dan Al-Baihaqi]
Dan Islam melarang bersikap buruk terhadap budak, menghinakan dan melecehkannya sebagai budak.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ عَبْدِي وَ أَمَتِي وَلْيَقُلْ فَتَايَ وَفَتَاتِي
“Janganlah salah seorang diantara kalian mengatakan: Hai hamba laki-lakiku, hai hamba perempuanku, akan tetapi katakanlah : Hai pemudaku (laki-laki), hai pemudiku (perempuan).” [HR. Bukhari No. 2552 dan Muslim No. 2449]
Islam mengangkat derajat Budak
Jika dibandingkan bangsa lainnya, budak dilecehkan dan dihinakan tidak ada harganya. Akan tetapi dalam Islam, budak diangkat derajatnya bahkan dianjurkan agar diperlakukan selayaknya saudara.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ إِخْوَانَكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
”Mereka (para budak) adalah saudara dan pembantu kalian yang Allah jadikan di bawah kekuasaan kalian, maka barang siapa yang memiliki saudara yang ada dibawah kekuasaannya, hendaklah dia memberikan kepada saudaranya makanan seperti yang ia makan, pakaian seperti yang ia pakai. Dan janganlah kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang memberatkan mereka. Jika kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang berat, hendaklah kamu membantu mereka.” [HR. Bukhari I/16, II/123-124]
Bahkan teladan kita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan budaknya, Zaid bin Haritsah sebagai anaknya [sebelum anak angkat dilarang dalam Islam].
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, ia berkata
أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ مَوْلَى رَسُوْلُ اللهِ مَا كُنَّا نَدْعُوْهُ إِلاَّ زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ الْقُرْآنُ ادْعُوْهُمْ لِآبَائِهِم
“Zaid bin Haritsah maula Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, (Ibnu Umar berkata), “Dulu kami tidak memanggil Zaid kecuali dengna panggilan Zaid bin Muhammad, sehingga turunlah ayat; (panggillah anak-anak angkatmu dengan (menasabkan kepada) nama bapak-bapak mereka, karena itulah yang lebih adil di sisi Allah.” [HR. Bukhari no. 4782, dan Muslim no.2425]
Dan yang mengagumkan lagi, ketika ayah Zaid bin Haritsah datang untuk menebus Zaid dan hendak membawanya pulang ke keluarganya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi pilihan kepada Zaid bin haritsah antara memilih ikut ayahnya atau tetap bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Zaid bin haritsah lebih memilih tetap bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini bukti bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan budaknya sebagaimana anaknya.
Pahala besar bagi budak
Jika seorang budak ikhlas dalam melakasanakan tugasnya sebagai budak dan berbakti kepada tuannya maka ia mendapat pahala yang besar, dua kali lipat.
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ يُؤْتَوْنَ أَجْرَهُمْ مَرَّتَيْنِ: رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ آمَنَ بِنَبِيِّهِ وَأَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَآمَنَ بِهِ وَاتَّبَعَهُ وَصَدَّقَهُ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَعَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَدَّى حَقَّ اللهِ وَحَقَّ سَيِّدِهِ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَرَجُلٌ كَانَتْ لَهُ أَمَةٌ فَغَذَّاهَا فَأَحْسَنَ غِذَاءَهَا ثُمَّ أَدَّبَهَا فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبَهَا وَعَلَّمَهَا فَأَحْسَنَ تَعْلِيْمَهَا ثُمَّ أَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا فَلَهُ أَجْرَانِ.
“Tiga kelompok yang akan diberikan pahala mereka dua kali: (1) Laki-laki ahli Kitab yang beriman kepada Nabinya lalu berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia beriman kepada beliau, mengikutinya dan membenarkannya, maka ia memperoleh dua pahala. (2) Seorang budak yang melaksanakan hak Allah dan hak tuannya, maka ia memperoleh dua pahala. Dan (3) seorang laki-laki yang mempunyai budak wanita, lalu ia memberi makanan, pendidikan, dan pelajaran yang baik, kemudian ia membebaskan dan menikahinya, maka ia memperoleh dua pahala.” [HR. Bukhari no. 2518. Muslim no. 1509 ]
Bahkan sahabat Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu berangan-angan ingin menjadi budak, karena besarnya pahala, beliau berkata,
للعبد المملوك أجران والذي نفسي بيده لولا الجهاد في سبيل الله والحج وبر أمي لأحببت أن أموت وأنا مملوك
“Bagi hamba sahaya mendapat dua pahala. Demi Dzat yang jiwaku ada ditanganNya, kalaulah bukan karena jihad di jalan Allah, haji dan bakti kepada ibuku, sungguh aku menginginkan mati dalam keadaan menjadi budak” [HR. Muslim, Idraj/sisipan dari Abu hurairah]
Anjuran membebaskan budak
Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ فَكُّ رَقَبَةٍ
“Tetapi ia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” [QS. Al-Balad: 11-13]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ الهُأ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى يُعْتِقَ فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ
“Barang siapa membebaskan budak yang muslim niscaya Allah akan membebaskan setiap anggota badannya dengan sebab anggota badan budak tersebut, sehingga kemaluan dengan kemaluannya. “ [HR. Bukhari, Fathul Bari V/146 dan Muslim No. 1509]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرِئٍ مُسْلِمٍ أَعْتَقَ امْرَأً مُسْلِمًا كَانَ فِكَاكَهُ مِنَ النَّارِ
“Siapa saja seorang muslim yang membebaskan seorang budak yang muslim, maka perbuatannya itu akan menjadi pembebas dirinya dari api neraka. “ [ HR. Tirmidzi, Imam al-Mundziri berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dan beliau mengatakan hadits ini Hasan Shahih (No. 1547)]
Tebusan kesalahan/pelanggaran [kafarah] seorang muslim dengan membebaskan budak
Banyak kita temukan dalam ajaran Islam berbagai kafarah/tebusan dalam suatu kesalahan/pelanggaran dengan membebaskan budak, misalnya kafarah berhubungan badan di siang hari bulan ramadhan, kafarah sumpah dan lain-lain, begitu juga jika melukai budak tersebut. Sehingga peluang para budak untuk merdeka semakin besar.
Barang siapa melukai tubuh budaknya maka ia wajib membebaskan budaknya tersebut. Dalam sebuah hadits yang mengisahkan adanya seorang tuan yang memotong hidung budaknya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada budak itu.
اذْهَبْ فَأَنْتَ حُرٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ الهِن فَمَوْلَى مَنْ أَنَا ؟ قَالَ : مَوْلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ
“Pergilah engkau karena sekarang engkau orang yang merdeka, maka budak itu berkata: “Ya Rasulullah saya ini maula (budak) siapa”, Beliau menjawab : “Maula Allah dan RasulNya.” [Hasan, HR. Ahmad II/182, Abu Daud No. 4519, Ibnu Majah No. 2680, Ahmad II/225]
Budak bisa minta bebas dengan membayar dirinya/mukatabah
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Mukatabah adalah seseorang budak menebus.membayar dirinya kepada tuannya dengan uang cicilan, dua cicilan atau lebih” [Manhajus Salikin Wa Taudihil Fiqh Fid Din hal. 189, cet.I, Darul Wathan]
Bahkan wajib bagi tuannya mengabulkan permintaan budaknya yang ingin merdeka dengan mukatabah.
Syaikh Abdullah Al-Jibrin Rahimahullahu berkata, “Jika seseorang budak meminta [mukatabah] dari tuannya, maka wajib baginya mengabulkannya, Allah Ta’ala berfirman, “…Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka…” ; An-Nuur: 33 [Ibhajul Mu’minin Syarh Manhajus Salikin jilid II hal 192, cet. I, Darul Wathan]
Banyak jalan lainnya agar budak bisa merdeka
Misalnya:
- Seorang budak dimiliki oleh beberapa orang kemudian salah seorang pemilik membebaskan bagiannya, maka pemilik tadi harus membebaskan bagian sekutunya secara paksa. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي مَمْلُوكٍ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعْتِقَ كُلَّهُ
“Barangsiapa membebaskan bagiannya dari seorang budak, maka ia wajib membebaskan seluruhnya.” [HR. Bukhari No. 2503.] - Barang siapa memiliki budak yang ternyata masih kerabat dekatnya (mahramnya) maka wajib atas pemiliknya untuk membebaskan secara terpaksa. Berdasarkan hadits,
مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ فَهُوَ حُرٌّ
“Barang siapa memiliki budak yang termasuk kerabatnya bahkan mahromnya maka budak itu merdeka.“ [HR. Abu Daud No. 3949, Irwa’ul Ghalil no. 1746, Shahih Sunan Abu Daud No. 3342] - Dengan “at-tadbir”/ budak mudabbar
Syaikh Abdul Adzim Badawi hafizhohullah menjelaskan, “Tadbir adalah pembebasan seorang budak yang disandarkan pada kematian tuannya. Seperti perkataan pemilik budak kepada budaknya, “Jika aku meninggal, maka engkau bebas sepeninggalku.” Jika sang tuan meninggal, maka ia bebas apabila budak itu tidak lebih dari sepertiga harta tuan.” [Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz hal. 398, cet. III, Dar Ibnu Rajab] - Ummu walad, budak wanita yang merdeka setelah melahirkan anak tuannya dan tuannya meninggal.
Dari Ibnu Abbas secara marfu’,
أيما أمة ولدت من سيدها فهي حرة بعد موته
“Budak wanita mana pun yang melahirkan anak tuannya maka ia bebas setelah kematian tuannya.” [HR. Ibnu majah, dishahihkan oleh Al-Hakim dan didhaifkan oleh Al-Albani]
Budak dibantu jika ingin merdeka
Salah satunya dengan zakat, sebagaimana yang tercantum dalam ayat,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Syaikh Abdul Adzim Badawi hafizhohullah berkata, “Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i, az-Zuhri dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan budak adalah al-Mukatab (budak yang telah mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk membayar sejumlah uang sebagai tebusan atas dirinya). Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Musa al-‘Asyari. Dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i juga al-Laitsi. Berkata Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, “Tidak mengapa harta zakat tersebut dijadikan sebagai tebusan untuk memerdekakan budak.” Dan ini adalah madzhab Ahmad, Malik dan Ishaq. Maksudnya bahwa memberikan zakat kepada budak sifatnya lebih umum dari sekedar memerdekakan al-Mukatab atau membeli budak, kemudian memerdekakannya. “ [Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil Aziz hal. 227, cet. III, Dar Ibnu Rajab]
Penutup
Masih ada beberapa bukti lagi bahwa dalam sistem perbudakan yang dilegalkan Islam mengandung banyak kemaslahatan yang jika kita bahas maka akan berpanjang lebar dan kami khawatir akan membuat jenuh pembaca.
Sistem perbudakan ini tidak dihapus karena peperangan dan jihad, serta akan terus berlangsung sampai hari kiamat. Perbudakan untuk memelihara dan menjaga hak mereka yaitu anak kecil dan para wanita, karena mereka dibiarkan hidup dan diperlakukan dengan baik, tidak dibunuh sebagaimana budaya lainnya. Lihat contoh ketika Islam menguasai Andalusia/Spanyol, maka Islam tidak menghancurkan peradaban dan penduduknya. Tetapi Andalusia berkembang menjadi negara Islam yang maju dan menghasilkan banyak ulama besar. Akan tetapi ketika orang kafir menguasai kembali, maka peradabannya hancur dan penduduknya dimusnahkan.
Terakhir, kami tutup dengan penjelasan Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, “Jika ada orang yang bertanya: Mengapa Islam tidak mewajibkan pembebasan budak, sehingga seorang muslim tidak memiliki alternatif lain dalam hal ini?
Jawabannya:
Sesungguhnya Islam datang pada saat perbudakan telah tersebar di mana-mana, karena itu tidaklah pantas bagi syari’at Islam yang adil, yang menjaga jiwa, harta dan kehormatan seseorang manusia untuk mewajibkan kepada manusia agar membuang harta mereka secara sekaligus. Sebagaimana juga, banyak budak yang tidak layak untuk dimerdekakan, seperti anak-anak kecil, para wanita, dan sebagian kaum laki-laki yang belum mampu mengurusi diri mereka sendiri dikarenakan ketidak mampuan mereka untuk bekerja dan dikarenakan ketidak tahuan mereka tentang cara mencari penghidupan. Maka (lebih baik) mereka tetap tinggal bersama tuannya yang muslim yang memberi mereka makanan seperti yang dimakan tuannya, memberi mereka pakaian seperti yang dipakai tuannya, dan tidak membebani mereka pekerjaan yang tidak sanggup mereka kerjakan. Ini semua adalah beribu-ribu derajat lebih baik dari pada hidup merdeka, jauh dari rumah yang memberi mereka kasih sayang dan jauh dari perbuatan baik kepada mereka untuk kemudian menuju tempat yang menyengsarakan laksana neraka jahim”. [Minhajul Muslim hal. 445, Darul Bayan, Beirut, cet. I, 1427 H]
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu Masjid
17 Rabiul Akhir 1433 H bertepatan 11 Maret 2012
Penyusun: Raehanul Bahraen
Editor: M. Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
🔍 Lauhul Mahfudz Dalam Al Quran, Keutamaan Bulan Ramadhan Beserta Dalilnya, Surah Tentang Puasa, Doa Siti Maryam
Artikel asli: https://muslim.or.id/8903-islam-kejam-membolehkan-perbudakan.html